BAHASA INDONESIA
TENTANG
EUFEMIS
ME DALAM BAHASA BUGIS
OLEH :
KELOMPOK III
Ø MUTAHARA
Ø DOYOK
Ø HASIM
Ø AMIRUDDIN
KATA PENGANTAR
ALHAMDULILLAHI ROBBIL ALAMIN..............
Puji syukur atas rahmat Allah swt. yang telah memberi
kesehatan serta kekuatan, sehingga saya bisa menyelesaikan makalah ini dengan
semaksimal mungkin.
Makalah ini, yang insya Allah banyak membahas tentang eufemisme
dalam bahasa bungis karna sesuai dengan judul makalahnya yaitu Eufemisme Dalam Bahasa Bugis. Didalamnya
berisi tentang mengapa kita perlu mempelajari eufemisme dalam bahasa bugis
yaitu supaya kita bisa lebih menghormati orang lain dan menghargai orang lain
dengan menggunakan kata-kata berbentuk bahasa yang sifatnya eufemisme. Sebab
eufemisme merupakan penghalusan bahasa yang tidak menyinggung perasaan orang
lain walaupun mungkin kata- kata yang diucapkan sedikit menyakitkan tapi karna
dia menggunakan bahasa eufemisme sehingga orang tersebut menjadi lebih tenang.
Saya berharap dengan makalah ini, bisa
menambah wawasan kita tentang EUFEMISME
dalam bernahasa daerah khususnya bahasa bugis. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat khususnya kepada sang penyusun makalah dan para pembaca.
Kritik serta saran yang selalu kami
harapkan, demi kesempurnaan makalah kami. Terima kasih.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................... 1
Latar Belakang..................................................................... 1
Tujuan................................................................................. 1
Rumusan Masalah................................................................ 1
BAB I
PEMBAHASAN
Pengertian Bahasa............................................................... 2
Bahasa Bugis........................................................................ 2
Pengertian Eufemisme......................................................... 2
Eufemisme
Dalam Bahasa Bugis........................................ 3
Fungsi Eufemisme Dalam Bahasa Bugis................................. 9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan.......................................................................... 10
Saran................................................................................... 11
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Eufemisme merupakan penghalusan bahasa,
sehingga bahasa yang kita keluarkan tidak membuat orang yang mendengar merasa tersinggung atau marah dengan
kata-kata yang kita ucapkan.Ada juga yang berpendapat bahwa eufemisme merupakan
sopan santun yang menipu, Sehingga orang
tidak merasa marah karna ia tidak tau kalau ia menggunakan bahasa eufemisme.
Tujuan
1. Agar
kita bisa mengetahui bahwa setiap bahasa daerah ada bahasa tertentu yang diharuskan kita menggunakan bahasa eufemisme.
2. Bisa
menjadi bekal apabila kita turun ke kampung halaman.
3. Supaya
kita tidak kenah teguran di saat kita menggunakan bahasa yang seharusnya bahasa
eufemisme malah kita menggunakan bahasa
yang tidak sepantasnya diucapkan,atau membuat orang marah atau tersinggung.
Rumusan Masalah
1. Apa yang
dimaksud dengan eufemisme?
2. Mengapa penting
bagi kita mempelajari eufemisme?
3. Mengapa
bahasa eufemisme dipelajari juga di dalam bahasa bugis?
1
BAB II
PEMBAHASAN
1.1.
PENGERTIAN BAHASA
Bahasa merupakan hal yang sangat
penting dalam kehidupan manusia. Manusia dapat berinteraksi atau berkomunikasi
dengan sesamanya melalui perantaraan bahasa. Oleh karena itu, bahasa menjadi
pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Melalui bahasa, manusia dapat
mengekspresikan pikiran dan perasaannya, baik secara lisan maupun tertulis
kepada orang lain.
1.2.
BAHASA BUGIS
Bahasa Bugis telah menjadi alat
komunikasi dalam kehidupan masyarakat penuturnya. Masyarakat penutur bahasa
Bugis menggunakan bahasanya untuk berbagai tujuan. Dalam konteks penggunaan
bahasa Bugis di setiap daerah, tidak tertutup kemungkinan terdapat pemunculan
bentuk kata yang sama, tetapi memiliki makna yang berbeda. Perbedaan makna
sering menimbulkan perbedaan persepsi dan interpretasi antara pembicara dengan
pendengar, antara penulis dengan pembaca yang berbeda dialek atau daerah
asalnya. Dalam hal ini, kesalahan persepsi dan interpretasi terhadap makna kata
karena kata tersebut kemungkinan memiliki makna lebih dari satu. Penyebab lain
adalah penggunaan eufemisme, yaitu penggunaan kata-kata halus sebagai pengganti
kata-kata yang dianggap memiliki makna kasar.
1.3.
PENGERTIAN EUFEMISME
2
eufemisme atau penghalusan bahasa
adalah salah satu bentuk pemakaian bahasa dalam masyarakat yang sudah semakin
lancar penggunaanya. Mungkin karena tuntutan zaman yang mengharuskan atau
karena pola pikir masyarakat pemakai bahasa yang selalu berubah.
Eufemisme merupakan acuan yang
berupa ungkapan yang tidak menyinggung perasaan atau ungkapan halus untuk
menggantikan acuan yang dirasakan menghina atau tidak menyenangkan. Intinya,
mempergunakan kata-kata dengan arti baik atau dengan tujuan baik.
Eufemisme juga ada yang mengartikan sebagai ungkapan
yang bersifat tidak berterus terang.
Eufemisme
atau juga pseudo eufemisme menjadi motif dorongan di belakang perkembangan
peyorasi. Eufemisme berlatar belakang sikap manusiawi karena dia berusaha
menghindar agar tidak menyakiti atau menyinggung perasaan orang lain.
Seandainya tidak ada eufemisme mungkin akan yerjadi depresi makna atau
perendahan.
1.4.
EUFEMISME DALAM BAHASA BUGIS
Ungkapan-ungkapan yang bermakna
eufemisme yang ditemukan dalam bahasa Bugis Dialek Palakka, yakni mabbura,
juana, makecca-kecca jari, massimang, reweq ripammasena, masempo, matubeng,
wija, mallalengni, makkurai betta, attaung-taugeng, makelu-kelu, massappa
dalle, macca pinru ada, mallise, rilakke-lakkei, jambang, dan palecce.
3
Makna setiap ungkapan tersebut
diungkapkan sebagai berikut :
v Mabbura (makan)
merupakan bentuk eufemisme dari manre. Mabbura berarti mengobati rasa
lapar. Ungkapan mabbura digunakan untuk memanggil orang lain makan. Ungkapan
ini memiliki makna yang sifatnya tidak langsung.
v Juana (budak)
merupakan bentuk eufemisme dari atanna. Kata atanna digunakan
untuk menghargai mitra tutur atau orang lain yang dibicarakan. Atanna berarti
budaknya, yang secara sosial menempatkan yang bersangkutan dalam status
sosial
v Makecca-kecca
jari (pencuri) adalah merupakan eufemisme
panga, parennau. Makecca-kecca jari bermakna bertangan nakal.
Ungkapan tersebut lebih halus dibandingkan dengan pencuri. Ungkapan makecca
jari juga digunakan masyarakat karena mereka meyakini bahwa jika pencuri
disebut parennau mereka akan melakukan aksinya kembali.
v Massimang (pamit)
merupakan eufemisme dari kata lokkana. Kata massimang dipandang
masyarakat lebih halus maknanya jika ingin meminta izin pulang kepada tuan
rumah. Kata tersebut biasanya digunakan untuk pamit pada tuan rumah yang
berstatus bangsawan. Dengan menggunakan kata tersebut, tuan rumah merasa sangat
dihargai oleh tamu yang paling rendah.
v Reweq
ripammasena (meninggal dunia) merupakan eufemisme dari mate.
Reweq ripammasena diucapkan untuk menjaga perasaan keluarga dari orang yang
meninggal dunia.
4
Secara
harfiah, ungkapan reweq ripammasena puang allah taala berarti kembali ke
sisi Allah Swt. Makna kembali dalam ungkapan tersebut bertujuan
untuk menghibur keluarga yang ditinggalkan. Dengan mengatakan kembali ke sisi
Allah, makna yang terkandung makna kematian tersebut semata-mata kehendak Allah
Swt.
v Masempo (tidak ada)
merupakan eufemisme dari degaga. Kata masempo digunakan ketika
seseorang meminta sesuatu barang atau ingin membeli sesuatu, namun yang
dimintai/penjual tidak memiliki barang dimaksud. Masempo secara harfiah
berarti laris. Dengan menggunakan ungkapan tersebut, orang yang meminta/pembeli
tidak merasa kecewa karena keinginannya tak terpenuhi.
v Matubeng (malas)
merupakan eufemisme dari makuttu. Eufemisme ini digunakan untuk menjaga
perasaan orang yang dianggap malas. Matubeng memiliki makna yang lebih
halus dibanding dengan makuttu.
v Wija (anak)
merupakan eufemisme dari anatta. Dengan menggunakan kata wija,
orang tua biasanya merasa dihargai. Wija memiliki makna keturunan.
Kata-kata tersebut merupakan ungkapan yang biasanya diucapkan sebagai tanda
keakraban. Masyarakat Bugis ketika berjumpa dengan sahabat atau kawan biasanya
akan saling bertanya tentang jumlah keturunan dengan menggunakan kata wija. Bentuk
ungkapan yang lazim digunakan adalah siagani wija (sudah berapa keturunan)? Kata
wija memiliki makna yang halus sebagai bentuk penghargaan kepada orang
tua yang telah memiliki keturunan.
6
v Mallalengni (sekarat)
merupakan eufemisme dari madangni. Eufemisme ini digunakan untuk menjaga
perasaan keluarga orang yang sedang sekarat. Secara harfiah, mallalengni berarti
berjalan, berjalan menuju kematian. Penggunaan kata mallaleng memiliki
ketidaklangsungan makna.
v Makkunrai betta (pelacur)
merupakan eufemisme dari kata bendarang. Kedua kata memiliki makna yang
sama, namun makkunrai betta memiliki ketidaklangsungan makna. Arti
secara harfiah makkunrai betta adalah wanita nakal. Dalam
masyarakat adalah perilaku yang diwujudkan dalam beragam tindakan, termasuk
wanita yang menjadi pelacur. Bendarang memiliki makna yang spesifik
kepada pelacur.
v Attaung-taugeng (orang
meninggal) merupakan eufemisme dari tau mate. Menurut pandangan
masyarakat Bugis, attaung-taugeng digunakan sebagai ungkapan untuk
mengurangi kesedihan keluarga yang sedang berduka.Secara harfiah, kata attaung-taungeng
berarti tempat orang meninggal.
v Mallise (hamil)
merupakan eufemisme dari mattampu. Kata mallisek memiliki makna
yang lebih halus. Ungkapan tersebut digunakan untuk menjaga perasaan wanita
yang sedang hamil. Mallise secara harfiah berarti berisi.
v Makelu-kelu (sakit)
merupakan eufemisme dari malasa. Meskipun kedua kata memiliki makna yang
sama, namun makelu-kelu memiliki makna keadaan sakit yang tidak terlalu
parah. Sebaliknya, malasa mengesankan makna keadaan sakit yang parah. Makelu-kelu
merupakan bentuk ungkapan yang digunakan untuk membesarkan hati dan
memberikan semangat bagi orang yang
7
sedang sakit. Dengan menggunakan ungkapan
tersebut, kesan yang muncul bahwa penyakit yang diderita si sakit
tidaklah parah.
v Massappa dalle (menjual)
merupakan eufemisme dari mabbalu. Massappa dalle digunakan untuk
memberikan semangat dalam melakukan pekerjaan sebagai pedagang. Secara harfiah massappa
dalle berarti mencari rezeki. Dengan menggunakan ungkapan tersebut, yang
bersangkutan akan memiliki motivasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh.
Ungkapan tersebut juga lazim digunakan untuk memotivasi anggota keluarga,
utamanya anak untuk bekerja atau menuntut ilmu.
v Macca pinru ada (piawai bercerita, piawai merangkai cerita) merupakan
eufemisme dari macca mabbicara. Eufemisme ini digunakan untuk
menunjukkan kehebatan seseorang yang piawai merangkai cerita. Ungkapan tersebut
memiliki makna yang lebih halus dibanding macca mabbicara. Macca mabbicara mengesankan
seolah-olah yang bersangkutan hanya sekadar bersilat lidah. Begitu pula,
isi pembicaraan yang sekadar sebagai gurauan, bukan pembicaraan berisi seperti
yang terkandung dalam macca pinru ada.
v Rilakke-lakkei (dibicarakan)
merupakan eufemisme dari ribicarai. Ungkapan rilakke-lakkei digunakan
untuk pembicaraan yang berkaitan dengan pernikahan. Ungkapan tersebut digunakan
untuk menyembunyikan harapan yang sebenarnya, yakni harat meminang seorang
gadis.
v Jambang (buang air
besar) merupakan eufemisme dari tai. Penggunaan kata tai akan
menimbulkan rasa jijik pada orang yang terlibat pembicaraan. Tai secara
harfiah berarti berak. Tai secara
8
langsung memberikan asosiasi terhadap kotoran
yang dihasilkan manusia. Dengan menggunakan ungkapan jambang, asosiasi
pendengar tidak langsung terarah pada hal yang kotor.
v Palecceki (tambah)
merupakan eufemisme dari attambako. Kata ini digunakan ketika
mempersilakan tamu menambah makanan dalam jamuan makan. Secara harfiah, palecceki
berarti memindahkan makanan. Penggunaan kata attambako dihindari
dalam jamuan makan masyarakat Bugis karena hal tersebut dapat menimbulkan rasa
malu bagi tamu. Attambako mengisyaratkan kesan rakus, makan banyak.
Padahal, dalam masyarakat Bugis kesan tersebut merupakan aib yang harus
dihindari.
1.5.
FUNGSI
EUFEMISME DALAM BAHASA BUGIS
1)
menghormati
orang lain, dan
berfungsi untuk menghormati orang
lain, yakni: mabbura (makan), wija (keturunan), massappa dalle
(mencari rezeki/berjualan), macca pinru ada (pandai merangkai kata),
jambang (buang air besar), palecceki (pindahkan/tambah), dan rilakke-lakkei
(dibicarakan).
2)
menjaga
perasaan orang lain.
Digunakan
untuk menjaga perasaan orang lain, yakni: juana (budak), makecca-kecca
jari (pencuri), massimang (pamit), matubeng (malas), mallaleng
(sekarat), makkunrai betta (pelacur), mallise (hamil), attaung-taungeng
(tempat orang meninggal), dan makelu-kelu (sakit).
9
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan
bidang pemakaian, eufemisme dalam bahasa Bugis digunakan dalam hal yang
berkaitan dengan musibah, utamanya kematian. Selain itu, eufemisme juga
digunakan untuk merujuk pada perilaku menyimpang anggota masyarakat, hal
menjijikkan, dan menunjukkan perilaku kesopanan.
Penggunaan
eufemisme dalam bahasa Bugis menunjukkan keluhuran budi masyarakat Bugis.
Penutur bahasa Bugis menggunakan eufemisme sebagai bentuk penghormatan terhadap
mitra tutur atau objek pembicaraan. Pembicaraan dengan penutur yang memiliki
derajat kebangsawanan atau usia yang lebih tua mendorong pembicara untuk
menggunakan bahasa yang memiliki makna yang lebih halus. Menurut Pelras
(2006:196), dalam masyarakat Bugis ungkapan penghormatan ditentukan derajat
kebangsawanan dan usia. Eufemisme yang dipengaruhi derajat kebangsawanan
terlihat pada ungkapan massimang (pamit). Pada golongan
masyarakat yang memiliki status rakyat biasa, lazim digunakan lokka/jokka
(pergi) lesu (pulang).
tujuan awal
eufemisme adalah untuk bersopan santun. eufemisme adalah sopan santun yang
menipu.
Hal ini tidak bisa dipungkiri karena banyak orang-orang tertentu yang pandai menggunakan bahasa, berlindung di balik eufemisme ini.
Hal ini tidak bisa dipungkiri karena banyak orang-orang tertentu yang pandai menggunakan bahasa, berlindung di balik eufemisme ini.
10
B. SARAN
Semoga
dengan kita mempelajari eufemisme dalam bahasa bungis, kita jadi tahu kalau
bukan hanya bahasa persatuan yang memiliki eufemisme dalam berbahasa, tapi
bahasa daerah-pun banyak menggunakan
kata-katanya yang bersifat eufemiame.
Jangan
sampai kita sebagai penduduk Indonesia yang berbagai macam suku tidak dapat
mengetahui kalau ada bahasa daerah yang sifatnya eufemisme sehingga akan berakibat buruk nantinya,maka
dari itu pentingnya bagi kita untuk mempelajari eufemisme dalam bahasa daerah
masing-masing.
11
ليست هناك تعليقات:
إرسال تعليق